Jumat, 23 Mei 2008

Menelusuri Halusinasi Penderita Schizophrenia

SEDIKIT orang tahu bahwa John Forbes Nash Jr., peraih hadiah Nobel bidang Ekonomi tahun 1994, adalah seorang penderita schizophrenia, sampai kemudian sebuah film yang digarap apik oleh sutradara Hollywood Ron Howard membeberkan kisah hidupnya dalam film A Beatiful Mind. Di film yang dibintangi Russell Crowe tersebut, sosok John Nash mengundang banyak simpati. Tapi di Indonesia, penderita schizophrenia masih kurang mendapatkan tempat. Padahal penyakit ini bisa disembuhkan.

Schizophrenia merupakan penyakit otak yang sanggup merusak dan menghancurkan emosi. Selain karena faktor genetik, penyakit ini juga bisa muncul akibat tekanan tinggi di sekelilingnya. Menurut psikolog Prof. Dr. Dadang Hawari, jumlah penderita schizophrenia di Indonesia adalah tiga sampai lima per 1000 penduduk. Mayoritas penderita berada di kota besar. Ini terkait dengan tingginya stress yang muncul di daerah perkotaan.

Schizophrenia memiliki basis biologis, seperti halnya penyakit kanker dan diabetes. Penyakit ini diyakini muncul karena ketidakseimbangan yang terjadi pada dopamine, yakni salah satu sel kimia dalam otak (neurotransmitter). Otak sendiri terbentuk dari sel saraf yang disebut neuron dan kimia yang disebut neurotransmitter. Penelitian terbaru bahkan menunjukkan serotonin, jenis neurotransmitter yang lain, juga berperan dalam menimbulkan gejala schizophrenia.

Dadang mengakui bahwa schizophrenia dapat dipicu dari faktor genetik. Namun jika lingkungan sosial mendukung seseorang menjadi pribadi yang terbuka maka sebenarnya faktor genetika ini bisa diabaikan. ”Gejala schizophrenia bahkan bisa tidak muncul sama sekali,” ujar Dadang dalam wawancara dengan SH baru-baru ini. Namun jika kondisi lingkungan malahan mendukung seseorang bersikap a-sosial maka penyakit schizophrenia menemukan lahan suburnya. Pendapat Dadang ini sedikit berbeda dengan data yang dikeluarkan pusat informasi schizophrenia yang beralamat di www.schizophrenia.com. Data tersebut menyebutkan bahwa schizophrenia sama sekali penyakit yang memiliki landasan biologis dan tidak terkait dengan kesalahan pola asuh atau kelemahan kepribadian seseorang. Namun lepas dari perbedaan tersebut, penyakit schizophrenia memiliki gejala yang serupa.

Menurut Dadang, ada dua gejala yang menyertai schizophrenia yakni gejala negatif dan gejala positif. Gejala negatif berupa tindakan yang tidak membawa dampak merugikan bagi lingkungannya, seperti mengurung diri di kamar, melamun, menarik diri dari pergaulan, dan sebagainya. Sementara gejala positif adalah tindakan yang mulai membawa dampak bagi lingkungannya, seperti mengamuk dan berteriak-teriak. Dalam dua gejala ini, penderita mengalami gangguan berpikir dan sering memiliki khayalan serta halusinasi. Manifestasi dari khayalan ini adalah mengeluarkan perkataan yang bukan-bukan. Halusinasi tersebut benar-benar dapat didengar, dilihat, bahkan dirasakan oleh si penderita. Seringkali halusinasi mengarahkan tindakan penderita, memperingatkan tentang suatu bahaya atau memberitahu dia apa yang harus dilakukan. Bahkan tak jarang si penderita asyik bercakap-cakap dengan para tokoh yang muncul dalam halusinasi ini.

Menurut Dadang, halusinasi ini merupakan proyeksi dari pikirannya sendiri. Film A Beatiful Mind menggambarkan dengan cukup apik bagaimana John Nash berkomunikasi dengan tokoh-tokoh khayalannya seolah mereka benar-benar nyata. Ia bahkan meyakini dirinya terlibat dalam sebuah konspirasi militer tingkat tinggi. Para penderita schizophrenia sangat yakin bahwa apa yang ia dengar dan lihat juga didengar dan dilihat oleh lingkungan sekelilingnya. Keyakinan ini, menurut Dadang, kadang menjadi kendala bagi penyembuhannya. Karena jika si penderita masih meyakini halusinasinya maka ia tetap menganggap dirinya waras.

Schizophrenia dapat menimpa siapa pun, terutama orang yang memiliki keturunan secara genetis. Episode kegilaan pertama umumnya terjadi pada akhir masa remaja dan awal masa dewasa. Pada anak yang kedua orang tuanya tidak menderita schizophrenia, kemungkinan terkena penyakit ini adalah satu persen. Sementara pada anak yang salah satu orang tuanya menderita schizophrenia, kemungkinan terkena adalah 13 persen. Dan jika kedua orang tua menderita schizophrenia maka risiko terkena adalah 35 persen. Data yang ditunjukkan pusat data schizophrenia AS, tiga perempat penderita schizophrenia berusia 16-25 tahun. Data ini memiliki kesamaan dengan pernyataan Dadang yang mengatakan bahwa schizophrenia di Indonesia umumnya menyerang remaja. Pada kelompok usia 16-25 tahun, schizophrenia mempengaruhi lebih banyak laki-laki dibanding perempuan. Pada kelompok usia 25-30 tahun, penyakit ini lebih banyak menyerang perempuan dibanding laki-laki.

Terapi
Sejak tahun 1950-an sudah ditemukan obat bagi penderita schizophrenia. Obat yang disebut neuroleptics ini mampu mengurangi gejala kegilaan yang muncul pada penderita schizophrenia. Menurut Dadang, obat schizophrenia versi lama hanya menyembuhkan gejala positif schizophrenia, seperti gampang mengamuk dan gemar berteriak-teriak. Sayangnya, obat tersebut tidak menyembuhkan gejala negatif schizophrenia. Penderita schizophrenia yang mengonsumsi obat versi lama masih sering tampak bengong dan gemar melamun.
Sementara obat schizophrenia versi baru, menurut pengakuan Dadang, berhasil menyembuhkan gejala negatif sekaligus positif. Persoalannya, obat yang harus dikonsumsi satu kali sehari tersebut dijual dengan harga 50 ribu rupiah per bijinya. Padahal, penderita schizophrenia harus mengonsumsi obat tersebut antara tiga sampai enam bulan. ”Tergantung pada penyakitnya,” ujar Dadang yang juga telah menulis buku tentang schizophrenia berjudul ”Pendekatan Holistik Pada Gangguan Jiwa Schizophrenia”. Selain terapi obat, penderita schizophrenia juga mendapatkan terapi konsultasi. Melalui konsultasi, maka pasien bisa dibantu untuk melakukan sosialisasi dengan lingkungannya. Keluarga dan kawan merupakan pihak yang juga sangat berperan dalam membantu pasien bersosialisasi.

Dalam kasus schizophrenia akut, pasien harus mendapat terapi khusus dari rumah sakit. Kalau perlu, ia harus tinggal di rumah sakit tersebut untuk beberapa lama sehingga dokter dapat melakukan kontrol dengan teratur dan memastikan keamanan penderita. Tapi sebenarnya, yang paling penting, adalah dukungan dari keluarga penderita. Karena jika dukungan ini tidak diperoleh, bukan tidak mungkin para penderita mengalami halusinasi kembali. Menurut Dadang, sejumlah penderita schizophrenia juga sering kambuh meski telah menyelesaikan terapi selama enam bulan. Karena itu, agar halusinasi ini tidak muncul lagi, maka penderita harus terus menerus diajak berkomunikasi dengan realitas.

Masih ingat wajah lega Jennifer Connelly, yang memerankan Alicia Nash dalam A Beatiful Mind, saat menyaksikan sang suami bisa berdiskusi asyik dengan para mahasiswa di kampusnya? John Nash membuktikan kepada dunia bahwa penderita schizophrenia bisa disembuhkan. Meski halusinasi itu masih sering melintas dalam batok kepalanya, tapi toh, berkat bantuan istri dan kawan-kawan dekatnya, Nash berhasil mengabaikan halusinasi tersebut.

Tidak ada komentar: