Sabtu, 31 Mei 2008

DEFINISI SCHIZOPHRENIA

schizophrenia
DEFINISI

schizoprenia adalah kekacauan jiwa yang serius ditandai dengan kehilangan kontak pada kenyataan (psikosis), halusinasi, khayalan (kepercayaan yang salah), pikiran yang abnormal dan mengganggu kerja dan fungsi sosial.

schizophrenia adalah masalah kesehatan umum di seluruh dunia. kejadian schizophrenia di seluruh dunia adalah kurang dari 1 persen, walaupun angka kejadian bisa lebih tinggi atau lebih rendah yang telah diketahui.

di amerika serikat, orang dengan schizoprenia menempati sekitar seperempat tempat tidur rumah sakit dan tinggal kurang lebih 20 hari.

schizophrenia lebih sering terjadi daripada penyakit alzheimer, penyakit gula, atau multiple sklerosis.

beberapa ciri-ciri kekacauan merupakan bagian dari gejala schizophrenia. kekacauan yang menyerupai schizophrenia, tetapi dengan gejala yang ada kurang dari 6 bulan, hal ini disebut schizophreniform.

kekacauan dengan lama kegilaan berakhir sedikitnya 1 hari tetapi kurang dari 1 bulan disebut penyakit psikosis singkat.

suatu kekacauan ditandai oleh adanya perasaan, seperti depresi atau keranjingan, serta gejala schizophrenia yang lebih khas disebut schizoaffective.

suatu kekacauan watak yang mungkin mirip dengan gejala schizophrenia, tetapi dengan gejala umum yang tidak begitu hebat seperti kriteria untuk kegilaan, disebut schizotypal kekacauan watak.

jenis schizophrenia

beberapa peneliti percaya schizophrenia adalah kekacauan tunggal, sedangkan yang lainnya percaya hal ini adalah sindrom (koleksi gejala) dari banyak sumber penyakit. jenis schizophrenia didasarkan pengelompokan pasien dengaan gejala yang sama.tetapi pada penderita secara individu, jenisnya akan berubah dengan berjalannya waktu.

schizophrenia paranoid ditandai dengan keasyikan dengan khayalan atau halusinasi pendengaran; berbicara ngawur dan emosi yang aneh menonjol.

hebephrenic atau schizophrenia tidak teratur ditandai dengan berbicara ngawur, kelakuan aneh, dan emosi datar yang aneh.

schizophrenia catatonic didominasi dengan gejala fisik seperti keadaan tak bergerak, gerak tubuh berlebihan, atau melakukan postur aneh.

schizophrenia yang tak dapat digolongkan sering ditandai dengan gejala-gejala dari semua kelompok; khayalan dan halusinasi, memikirkan kekacauan dan kelakuan aneh, dan gejala defisit atau negatif.

baru-baru ini, schizophrenia sudah diklasifikasikan berdasarkan ada tidaknya dan keparahan gejala negatif atau defisit.

pada pasien dengan jenis negatif atau defisit schizophrenia, dengan gejala negatif, seperti emosi yang datar, kekurangan motivasi, dan tidak punya tujuan yang menonjol.

pada penderita dengan non-defisit atau paranoid sizofrenia, khayalan dan halusinasi sangat menonjol, tetapi memiliki relatif sedikit gejala negatif yang terpantau.

pada umumnya, orang dengan schizophrenia non-defisit cenderung menjadi tidak parah dan lebih responsif terhadap pengobatan.

SCHIZOPHRENIA

PENDAHULUAN
Gangguan-gangguan psikis yang sekarang dikenal sebagai schizophrenia, untuk
pertama kalinya diidentifikasi sebagai "demence precoce" atau gangguan mental dini
oleh Benedict Muler (1809-1873), seorang dokter berkebangsaan Belgia pada tahun
1860 (dalam Supratiknyo, 1995). Konsep yang lebih jelas dan sistematis diberikan oleh
Emil Kraepelin (1856-1926), seorang psikiatri Jerman pada tahun 1893. Kraepelin
menyebutnya dengan istilah "dementia praecox". Istilah dementia praecox berasal
dari bahasa Latin "dementis" dan "precocius", mengacu pada situasi dimana seseorang
mengalami kehilangan atau kerusakan kemampuan-kemampuan mentalnya sejak dini.
Menurut Kraepelin, "dementia praecox" merupakan proses penyakit yang disebabkan
oleh penyakit tertentu dalam tubuh. Dementia praecox meliputi hilangnya kesatuan
dalam pikiran, perasaan, dan tingkah laku. Penyakit ini muncul pada usia muda dan
ditandai oleh kemampuan-kemampuan yang menurun yang akhirnya menjadi
disintegrasi kepribadian yang kompleks. Gambaran Kraepelin tentang "dementia precox"
ini meliputi pola-pola tingkah laku seperti delusi, halusinasi, dan tingkah laku yang
aneh (Rathus, et al., 1991).
Eugen Bleuler (1857-1939), seorang psikiater Swiss, memperkenalkan istilah
schizophrenia . Istilah ini berasal dari bahasa Yunani schitos artinya terbelah, terpecah,
dan phren artinya pikiran. Secara harafiah, schizophrenia berarti pikiran/jiwa yang
terbelah/terpecah. Bleuler lebih menekankan pola perilaku, yaitu tidak adanya integrasi
otak yang mempengaruhi pikiran, perasaan, dan afeksi. Dengan demikian tidak ada
kesesuaian antara pikiran dan emosi, antara persepsi terhadap kenyataan yang
sebenarnya (Rathus, et al., 1991; Davison, et al.,1994).
PPDGJ III (Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia
III) menempatkan schizophrenia pada kode F20.
Schizophrenia termasuk dalam kelompok psikosis fungsional. Psikosis
fungsional merupakan penyakit mental secara fungsional yang non organis sifatnya,
hingga terjadi kepecahan kepribadian yang ditandai oleh desintegrasi kepribadian dan
maladjustment sosial yang berat, tidak mampu mengadakan hubungan sosial dengan
dunia luar, bahkan sering terputus sama sekali dengan realitas hidup; lalu menjadi
ketidakmampuan secara sosial. Hilanglah rasa tanggungjawabnya dan terdapat
gangguan pada fungsi intelektualnya. Jika perilakunya tersebut menjadi begitu
abnormal dan irrasional, sehingga dianggap bisa membahayakan atau mengancam
keselamatan orang lain dan dirinya sendiri, yang secara hukum disebut gila (Kartono,
1989 : 165).
Schizophrenia merupakan gangguan mental klasifikasi berat dan kronik (psikotik)
yang menjadi beban utama pelayanan kesehatan jiwa di Indonesia sejak jaman
pemerintahan Hindia Belanda sampai sekarang. Mengapa menjadi beban ? Karena ciri
pokok keruntuhan fungsi peran dan pekerjaan, sehingga penderita menjadi tidak
produktif dan harus ditanggung hidupnya selamanya oleh sanak keluarga,
masyarakat, atau pemerintah (Wicaksana,2000).
2002 digitized by USU digital library 2
II. GEJALA-GEJALA SCHIZOPHRENIA
II.1 BERDASARKAN KONSEP TEORITIS
Coleman (1976) menjelaskan bahwa Schizophrenia adalah gangguan psikosa
yang ditandai oleh split/disorganisasi personality. mengalami disharmoni psikologis
secara menyeluruh, pendangkalan/kemiskinan emosi, proses berpikir yang
memburuk. menghilangnya kesadaran sosial, adanya delusi, halusinasi, sikap/perilaku
yang aneh, dan emosinya inkoheren dimana bila terdapat kejadian yang menyenangkan
bisa saja penderita malah menjadi bersedih hati, demikian pula sebaliknya.
Halusinasi adalah pengalaman indera dimana tidak terdapat stimulasi terhadap
reseptor-reseptor.
Delusi adalah keyakinan yang tidak mempunyai bukti-bukti kebenaran atau bukti-bukti
yang dapat diperlihatkan.
Dibandingkan dengan gangguan abnormalitas psikis lainnya, penderita
schizophrenia relatif paling sedikit yang sembuh maupun yang meninggal, sehingga
"tumplek" di Rumah Sakit, dimana 50% pasien RSJ adalah penderita Schizophrenia.
Gangguan kepribadian Schizophrenia ini bisa terjadi pada hampir setiap tingkat usia :
Modus pada : 30 - 35 tahun
10% pada : 20 tahun
65% pada : 20 - 40 tahun
25% pada : di atas 40 tahun.
II.1.1 Emotional disorders.
Hilangnya aktivitas afek yang normal, dimana kehidupan afeknya sangat
terganggu. Ciri utama patologi emosinya adalah apatis, dimana reaksi emosinya datar,
tidak wajar, menyulitkan orang normal untuk melakukan kontak dengan pasien (
seolah-olah diselubungi tembok) sehingga reaksi emosinya tidak adekuat. Social
feeling-nya menghilang, misalnya : bertahun-tahun di bangsal yang sama, bisa tidak
saling berbicara.
Reaksi emosinya sukar diprediksi, inkongruen, ambigous, tanpa sebab bisa
menangis, berteriak-teriak, terkekeh-kekeh, tertawa dibuat-buat, ambivalen (misalnya
membunuh sambil tertawa terbahak-bahak).
II.1.2 Delusions.
Di sini subyek memiliki keyakinan yang tidak mempunyai bukti-bukti yang benar
atau bukti-bukti yang dapat diperlihatkan. Hal ini lebih dari seperti bentuk mimpi pada
orang normal, lebih fantastis, sukar dibayangkan anehnya.
Semua ide dan rasa yakin yang dimiliki subyek menyalahi logika dan bersifat
fantastis, tetapi pada subyek tidak terdapat keinginan untuk menentangnya. Segala
sesuatu bagaikan dalam dunia mimpi, penuh khayal tetapi sangat diyakini subyek
sebagai hal yang dialami dan merupakan bagian dari diri subyek.
Beberapa bentuk delusi, antara lain :
a. Delusions of Reference,
yaitu keyakinan subyek bahwa orang-orang membicarakannya, menuding,
memuat gambarnya dikoran, dan sebagainya.
b. Delusions of Influence,
yaitu keyakinan subyek bahwa "musuh"-nya dengan segala cara berusaha
mempengaruhinya, dengan teknik elektro yang kompleks, memasang elektroda
dikepalanya, dan sebagainya.
c. Delusions of Persecutions,
yaitu keyakinan subyek bahwa ia dimusuhi, diancam komplotan, diburu, ditekan,
2002 digitized by USU digital library 3
dan sebagainya.
d. Delusions of Sins and Guilt,
yaitu keyakinan subyek akan dosa-dosanya yang tak terampuni, rasa
bersalahnya karena ia mencelakakan orang lain karena ia jahat, dan sebagainya.
e. Delusions of Grandeur,
yaitu keyakinan subyek bahwa dirinya adalah orang yang serba hebat, serba luar
biasa, mahasuci, dan sebagainya.
f. Hyphocondriacal Delusions,
yaitu keyakinan subyek bahwa dirinya mengalami penyakit yang aneh,
mengerikan, mematikan, dan sebagainya.
g. Nihilistic Delusions,
yaitu keyakinan subyek bahwa dirinya merasa dihukum paksa, dimana subyek
merasa dirinya sudah mati beberapa tahun yang lalu dan jiwanya sudah menguap
tetapi badanya masih tersisa di dunia karena dihukum paksa.
II.1.3 Hallucinations.
Gejala halusinasi ini sangat meninjol muncul sebagai simptom schizophrenia
dibandingkan dengan pada bentuk gangguan abnormalitas lainnya.
Halusinasi merupakan persepsi atau pengalaman indera dimana tidak terdapat
stimulasi terhadap reseptor-reseptornya.
Macam-macam halusinasi :
a. Auditory Hallucination,
yaitu subyek mendengar sesuatu dimana tidak terdapat stimulasi yang obyektif
terhadap indera dengarnya. Misalnya subyek merasa mendengar suara Tuhan, suara
ghoib, dan sebagainya.
b. Visual Hallucination,
yaitu subyek mendengar sesuatu dimana tidak terdapat stimulasi yang obyektif
terhadap indera penglihatannya. Misalnya melihat nabi, melihat, bidadari, dan
sebagainya.
c. Olfactory Hallucination,
yaitu subyek mencium sesuatu dimana tidak terdapat stimulasi yang obyektif
terhadap indera penciumannya. Misalnya mencium gas beracun, yang disemprotkan ke
kamarnya, dan sebagainya.
d. Gustatory Hallucination,
yaitu subyek mengecap sesuatu dimana tidak terdapat stimulasi yang obyektif
terhadap indera pengecapnya. Misalnya, merasakan adanya racun pada makanan yang
dimakannya atau minuman yang diminumnya, dan sebagainya.
e. Tactual Hallucination,
yaitu subyek merasakan adanya sesuatu yang menstimulasi indera rabanya
dimana tidak terdapat stimulasi yang obyektif. Misalnya, merasakan adanya ular yang
merayap pada kuduknya atau badannya, dan sebagainya.
II.1.4 Speech Disorder
Subyek yang mengalami gangguan schizophrenia mengalami gangguan bicara,
bisa dalam bentuk membisu, tidak komunikatif, dan sebagainya. Hal ini terjadi karena
rendahnya minat untuk mengadakan relasi sosial. Subyek tidak merasa perlu untuk
berbicara, atau merasa diperintah untuk tidak bicara, atau takut bau mulutnya
mengganggu orang lain, dan sebagainya. Atau bahkan sebaliknya, subyek banyak bicara
tetapi kualitas bicaranya inkoherent, repetitik, meloncat-loncat, dan tidak relevan.
Ciri bicaranya adalah tidak dapat atau sukar dimengerti atau tidak berkaitan.
Terjadi neologisme, yaitu membentuk kata-kata baru dari kata-kata lama yang hanya
subyek sendiri yang mengerti (pada orang normal biasanya disebut akronim yang
terbentuk melalui prinsip-prinsip tertentu).
2002 digitized by USU digital library 4
I.1.5 Tulisannya "aneh"
Tulisan subyek biasanya diulang-ulang (stereotipe), ganjil, dimuluk-muluk, dan
sebagainya. Bahasa lisannya tidak berhubungan antara satu kata dengan kata lain, atau
satu kalimat dengan kalimat lain, tidak mengikuti aturan tata bahasa yang benar atau
seenaknya saja. Kata-katanya banyak yang hilang atau terpenggal begitu saja.
II.1.6 Thinking Disorders
Karena cara berpikirnya yang tidak terintegrasi dengan baik, kata-kata yang oleh
orang normal disupress, pada schizophrenia dilepas saja.
Cara berpikirnya meloncat-loncat, tidak urut, tidak selesai, sehingga sukar bagi
orang normal untuk menyesuaikan cara berpikirnya dengan isi dan jalan pikiran subyek,
karena arahnya tidak jelas, tidak koheren, sukar diikuti, dan sebagainya. Pemikirannya
tidak memiliki sasaran yang jelas, tidak terorganisir, tidak utuh dalam proses dan cara
berpikirnya.
Menurut Bleuer, terjadi daya asosiasi dalam proses berpikir yang melemah pada
penderita schizophren.
Menurut Storch & White, pada penderita schizophrenia terjadi regresi dalam
kemampuan berpikir dan bahasa, sehingga menampilkan bentuk-bentuk primitif dalam
perkembangan dan pengendaliannya. Penderita schizophren berpikir dalam term
kongkrit yang mempunyai arti subyektif. Subyek tidak mampu mengkonstruksikan
ide-ide yang abstrak.
Pada tes psikologis, hasil tesnya terlihat rendah pada abstract behaviour, concept
formation, dan generalizing ability. Bila hasil psikotesnya tersebut baik, maka penderita
memiliki kecenderungan untuk sembuh, karena secara menyeuruh subyek mampu
mencapai relasi kelompok dan mampu menghadapi masalah-masalah abstrak.
II.1.7 Gangguan Intelegensi
Intelligence Quotient (IQ) berada pada sekitar average. Kemunduran intelegensi
baru terlihat setelah 1 - 2 tahun, yaitu di bawah rata-ratatingkat usia mentalnya (tetapi
tidak sama pada setiap penderita).
Tes vocabulary kurang begitu terganggu dibanding tesnya untuk learning,
memory, motor ability, dan abstract thinking.
Tetapi, kerusakan intelegensi tidak permanen. Dengan meningkatnya perbaikan
psikis, intelegensi berangsur-angsur normal seperti semula.
II.1.8 Gangguan Psikis Lainnya
Hal yang menyolok adalah adanya deteriorasi dan disturbance emosi, dimana
sangat disoriented, yaitu ditandai oleh delusi.
Daya ingatnya mengalami kemunduran pada fase awal. Hal itu lebih disebabkan
karena kurangnya perhatian, minat, dan terjadinya kesalahan/kekeliruan dalam proses
learning. Pada mulanya penderita masih bisa mengenal siapa dirinya, identitasnya, dan
mengenal orang-orang di sekitarnya. Akan semakin melemah seiring dengan semakin
parahnya penyakit yang dideritanya.
Psikomotoriknya kadang-kadang terlihat terganggu, tetapi kadang-kadang tidak.
Hal itu tergantung pada tipe schizophren yang dideritanya.
Insight melemah cukup menyolok, dimana penderita tidak mampu menerima
penilaian terhadap kenyataan-kenyataan dirinya. Penderita tidak bisa diajak mengerti.
Penderita tidak mampu mengendalikan aktifitasnyasesuai dengan norma lingkungan
sosialnya.
II.1.9 Simptom-Simptom Fisik
Kesehatan tubuh yang dimiliki penderita sangat buruk. Hal ini disebabkan karena
2002 digitized by USU digital library 5
tidak terawat, kurang gizi, tidur tidak teratur/terganggu, lemah secara fisik, kurus
kering, dan suhu tubuh terganggu.
II.2 MENURUT PPDGJ
Menurut PPDGJ, schizophrenia pada umumnya ditandai oleh penyimpangan yang
fundamental pada karakteristik pikiran dan persepsi serta afek yang tidak wajar
(inappropriate) atau tumpul (blunted). Kesadaran yang jernih (clear consciouness) dan
kemampuan intelektual biasanya tetap terpelihara, walaupun kemunduran kognitif
tertentu dapat berkembang kemudian.
Dalam melakukan diagnosa schizophrenia pada penderita, terdapat beberapa
pedoman diagnostik yang harus diikuti, yaitu pertama harus ada sedikitnya satu gejala
berikut ini yang amat jelas (biasanya 2 gejala atau lebih bila gejala-gejala itu kurang
tajam atau kurang jelas).
II.2.1 Isi Pikiran
a. Thought Echo.
Isi pikiran dirinya sendiri yang berulang dan bergema dalam kepalanya (tidak
keras), dan isi pikiran ulangan, walaupun isinya sama, namun kualitasnya berbeda.
b. Thought Insertion atau Withdrawl.
Isi pikiran yang asing dari luar masuk ke dalam pikirannya (insertion) atau isi
pikirannya diambil keluar oleh sesuatu dari luar dirinya (withdrawl)
c. Thought Broadcasting.
Isi pikirannya tersiar keluar sehingga orang lain atau umum mengetahuinya.
II.2.2 Delusi
a. Delusion of Control.
Waham tentang dirinya dikendalikan oleh suatu kekuatan tertentu dari luar.
b. Deluasions of Influence.
Waham tentang dirinya dipengaruhi oleh suatu kekuatan tertentu dari luar.
c. Delusions of Passivity.
Waham tentang dirinya tidak berdaya dan pasrah terhadap suatu kekuatan dari luar.
"Tentang dirinya" artinya secara jelas merujuk ke pergerakan tubuh/anggota gerak
atau ke pikiran, tindakan, atau penginderaan khusus).
d. Delusional Perception.
Pengalaman inderawi yang tak wajar, yang bermakna sangat khas bagi dirinya,
biasanya bersifat mistik atau mukjizat.
II.2.3 Halusinasi Auditorik.
a. Suara halusinasi yang berkomentar secara terus menerus terhadap perilaku
penderita.
b. Mendiskusikan perihal penderita di antara mereka sendiri (di antara berbagai
suara yang berbicara)
c. Jenis suara halusinasi lain yang berasal dari salah satu bagian tubuh.
II.2.4 Waham yang menurut budaya dianggap tidak wajar.
Waham-waham menetap jenis lainnya, yang menurut budaya setempat dianggap
tidak wajar dan sesuatu yang mustahil, misalnya perihal keyakinan adama atau politik
tertentu, kekuatan dan kemampuan di atas manusia biasa (misalnya mampu
mengendalikan cuaca, berkomunikasi dengan makhluk asing dari dunia lain).
Kedua, dalam melakukan diagnosa schizophrenia pada penderita paling sedikit
terdapat 2 (dua) gejala di bawah ini yang harus selalu ada secara jelas.
a. Halusinasi yang menetap dari panca indera apa saja, apabila disertai baik oleh
2002 digitized by USU digital library 6
waham yang mengembang maupun yang setengah berbentuk tanpa
kandunganafektif yang jelas, ataupun disertai oleh ide-ide yang berlebihan (over
valued ideas) yang menetap, atau apabila terjadi setiap hari selama
berminggu-minggu atau berbulan-bulan terus menerus.
b. Arus pikiran yan terputus (break) atau yang mengalami sisipan (interpolation),
yang berakibat inkoherensi atau pembicaraan yang tidak relevan atau neologisme.
c. Perilaku katatonik, seperti keadaan gaduh-gelisah (excitement), posisi tubuh
tertentu (posturing), atau fleksibilitas cerea, negativisme, mutisme, dan stupor.
d. Gejala-gejala "negatif", seperti sikap sangat apatis, bicara yang jarang, dan
respon emosional yang menumpul atau tidak wajar, biasanya yang mengakibatkan
penarikan diri dari pergaulan sosial. Tetapi, harus jelas bahwa semua hal tersebut
tidak disebabkan oleh depresi atau medikasi neuroleptika.
Ketiga, adanya gejala-gejala khas tersebut di atas telah berlangsung selama
kurun waktu satu bulan atau lebih (tidak berlaku untuk setiap fase nonpsikotik
prodromal.
Keempat, harus ada perubahan yang konsisten dan bermakna dalam mutu
keseluruhan (overall quality) dari beberapa aspek perilaku pribadi (personal behavior),
bermanifestasi sebagai hilangnya minat, hidup tak bertujuan, tidak berbuat sesuatu,
sikap larut dalam diri sendiri (self absorbed attitude), dan penarikan diri secara sosial.
2002 digitized by USU digital library 7
III. TIPE-TIPE KLINIS SCHIZOPHRENIA PADA UMUMNYA
Schizophrenia biasanya dibagi menjadi 4 tipe, yaitu : simplex, hebephren,
katatonik, dan paranoid.
Dalam hal ini masih terdapat permasalahan, yaitu apakah tipologi tersebut
sifatnya kaku. Sebab, pada kenyataannya seringkali simptomnya berubah atau
berpindah dari sati tipe ke tipe lainnya, misalnya mula-mula hebephren kemudian
menjadi kataton, dan seterusnya.
III.1 TIPE SIMPLEX (DEMENTIA SIMPLEX)
Simptom utamanya adalah apati, yaitu seolah tidak memiliki kepentingan untuk
diri sendiri. Bahkan, sering harus diberikan pengertian tentang hal-hal yang menjadi
kebutuhannya. Penderita biasanya berkeinginan untuk berbaring, malas-malasan,
jorok, tidur-tiduran, jarang mandi, motorik lamban, dan jarang berbicara. Sering
berperilaku yang amoral, misalnya memaki-maki orang yang sedang lewat, memainkan
alat kelaminnya.
Individu pada waktu normal adalah anak yang baik, dimana prestasinya cukup
baik, perilakunya menyenangkan. Hal tersebut terjadi karena individu tidak mempunyai
cukup energi untuk menentang orang lain atau orang tua sehingga hanya bisa menurut.
Energi lemahnya tersebut ditampilkan dalam bentuk apatis (kelesuan).
Individu tidak memiliki ambisi untuk mendapatkan pemuasan (tidak mau
apa-apa), yang apabila dipaksakan untuk melakukan sesuatu seringkali muncul reaksi
agresi (marah), dan apabila hal tersebut semakin dipaksakan maka biasanya individu
akan jatuh sakit.
III.2 TIPE HEBEPHREN
Pada tipe ini terjadi disintegrasi emosi, dimana emosinya bersifat
kekanak-kanakan, ketolol-tololan, seringkali tertawa sendiri kemudian secara tiba-tiba
menangis tersedu-sedu. Terjadi regresi total, dimana individu menjadi
kekanak-kanakan. Individu mudah tersinggung atau sangat irritable. Seringkali
dihinggapi sarkasme (sindiran tajam) dan menjadi marah meledak-ledak atau explosive
tanpa sebab.
Pembicaraannya kacau, suka berbicara berjam-jam. Pada awal gangguan
seringkali komunikatif, tetapi lama-kelamaan komunikasinya menjadi tidak karuan
(inkoheren), yang bahkan sampai akhirnya individu tidak komunikatif.
Terjadi halusinasi dan delusi yang biasanya sifatnya fantastis, misalnya : ada
vampire yang menyedot darahnya, dan sebagainya.
Cara berpikirnya kacau. Hal tersebut terlihat dari cara berbicaranya yang tidak
karuan.
Tulisan/Graphis yang dibuatnya bersifat kacau, dimana terjadi regresi, yaitu
bersifat kekanak-kanakan.
III.3 TIPE CATATONIC
2002 digitized by USU digital library 8
Dibandingkan dengan tipe jenis schizophrenia lainnya, tipe catatonic ini
serangannya berlangsung jauh lebih cepat.
Aktivitasnya jauh berkurang dibandingkan waktu normal. Pada individu terjadi
stufor, dimana individu diam, tidak mau berkomunikasi, kalau berbicara suaranya
monoton, ekspresi mukanya datar, makan dan berpakaian harus dibantu dan sikap
badannya aneh yaitu biasanya tegang/kaku seperti serdadu dan biasanya dipertahankan
untuk waktu yang lama. Catatonic stufor ini terdapat dua bentuk, yaitu (1) rigid, dimana
badan menjadi sangat kaku, bisa seperti bentangan di antara dua benda, (2)
chorea-fleksibility, dimana badannya menjadi lentur seperti lilin dan posisinya dapat
dibentuk.
Penderita schizophrenia catatonic yang parah biasanya ditempat tidur, tidak mau
berbicara, jorok, makan-minum dipaksa, dan apabila mata terbuka biasanya akan
terpaku pada satu titik, tidak berkedip, dan ekspresi kosong.
Perkembangan selanjutnya yaitu setelah beberapa minggu atau beberapa bulan,
terjadi catatonic excitement dimana penderita menunjukkan suatu gerakan tertentu
dalam waktu yang lama dan kemudian secara ekstrem berubah sebaliknya. Misalnya,
berbaring menghadap tembok kiri dalam waktu yang lama dan kemudian menghadap
tembok kanan.
Penderita bersikap negatif (negatifistic), dimana penderita tidak ada interest
sama sekali terhadap sekelilingnya, tanpa kontak sosial, dan membisu dalam waktu
yang lama.
III.4 SCHIZOPHRENIA PARANOID
Simptom utamanya adalah adanya delusi persecusion dan grandeur, dimana
individu merasa dikejar-kejar. Hal tersebut terjadi karena segala sesuatu ditanggapi
secara sensitif dan egosentris seolah-olah orang lain akan berbuat buruk kepadanya.
Oleh karena itu, sikapnya terhadap orang lain agresif.
Delusi tersebut diperkuat oleh halusinasi penglihatan dan pendengaran, misalnya
terlihat wajah-wajah yang menakutkan, terdengar suara mengancam, dan sebagainya
sehingga timbul reaksi menyerang atau agresi karena terganggu. Hal-hal tersebut
juga bisa mendorong penderita untuk membunuh orang lain atau sebaliknya bunuh diri,
sebagai usahanya untuk menghindari delusi persecusion
Terdapat kecenderungan homoseksualitas, dimana penderita laki-laki akan
mengancam laki-laki dan penderita perempuan akan mengancam perempuan.
Adanya delusion of grendeur dapat menimbulkan delusion of persecusion,
dimana individu menganggap orang lain cemburu kepada kepintarannya, kekayaannya,
kepopulerannya, kecantikannya, kedudukan sosialnya, dan sebagainya.
Pada penderita timbul "Ideas of Reference", yaitu terjadi percampuran antara
waham dan halusinasi dengan kecenderungan untuk memberikan impresi/nuansa
pribadi terhadap segala kejadian yang dialaminya. Misalnya, suara klakson mobil di
jalan depan rumah, dianggapnya sebagai terompet tanda penyerbuan terhadap dirinya
segera akan dimulai (Coleman, 1976; Kartono, 1989).
IV. FASE-FASE SCHIZOPHRENIA
Dalam mendiagnosa seseorang adalah penderita schizophrenia, DSM IV
(Davison, et al., 1994) menyatakan bahwa orang tersebut sekurang-kurangnya selama
6 bulan telah menunjukkan gejala-gejala gangguan. Dalam 6 bulan tersebut, terdapat
2002 digitized by USU digital library 9
fase aktif selama sekurang kurangnya 1 bulan, fase prodromal periode sisa sebelum fase
aktif, dan fase residual periode sisa setelah fase aktif.
Pada fase prodromal, individu menunjukkan gangguan-gangguan fungsi sosial
dan interpersonal yang progresif. Perubahan yang terjadi dapat berupa penarikan sosial,
ketidakmampuan bekerja secara produktif, eksentrik, pakaian yang tidak rapi, emosi
yang tidak sesuai perkembangan pikiran dan bicara yang aneh, kepercayaan yang tidak
biasa, pengalaman persepsi yang aneh, dan hilangnya inisiatif dan energi.
Pada fase aktif, dimana paling sedikit selama 1 bulan, individu mengalami
simptom psikotik, yaitu halusinasi, delusi, pembicaraan dan tingkah lakunya yang tidak
teratur, dan terdapat tanda-tanda penarikan diri.
Pada fase residual, terdapat simptom seperti fase sebelumnya, tetapi tidak
parah dan tidak mengganggu (Martaniah, 1999).
V. PENYEBAB GANGGUAN SCHIZOPHRENIA
Terdapat beberapa pendekatan yang dominan dalam menganalisa penyebab
Schizophrenia, yaitu pendekatan biologis (meliputi faktor genetik dan faktor biokimia),
pendekatan psikodinamik, pendekatan teori belajar.
V.1 PENDEKATAN BIOLOGIS
V.1.1 Faktor Genetik
Seperti halnya psikosis lain, schizophrenia nampaknya cenderung berkembang
lewat keluarga. Penelitian terhadap munculnya schizophrenia dalam keluarga biasanya
diadakan dengan mengamati penderita schizophrenia yang ada di rumah sakit jiwa dan
kemudian meneliti tentang perkembangan kesehatannya serta mencari keterangan dari
berbagai pihak untuk menentukan bagaimana schizophrenia dan psikosis lainnya
muncul di antara keluarga penderita. Dari penelitian yang dilakukan ditemukan bahwa
resiko timbulnya psikosis, termasuk schizophrenia, sekitar empat kali lebih besar pada
hubungan keluarga tingkat pertama (saudara kandung, orang tua, anak kandung)
dibandingkan dengan masyarakat pada umumnya (Rathus, et al., 1991).
Semakin dekat hubungan genetis antara penderita schizophrenia dan anggota
keluarganya, semakin besar kemungkinannya untuk terkena schizophrenia. Hal ini
menunjukkan bahwa kecenderungan terkena schizophrenia dapat ditularkan secara
genetis. Keluarga penderita schizophrenia tidak hanya terpengaruh secara genetis akan
tetapi juga melalui pengalaman sehari-hari. Orang tua yang menderita schizophrenia
dapat sangat mengganggu perkembangan anaknya. Hal ini menimbulkan persoalan
tentang mana yang lebih berpengaruh : genetis atau lingkungan.Untuk membedakan
hal tersebut, para ahli mengusahakan suatu penelitian terhadap anak kemabar (Sue, et
al.,1986 dan Davison et al., 1994, serta Rathus, et al., 1991). Kembar identik
(monozygotic) adalah sama/identik secara genetis, karena itu perbedaan antara anak
kembar identik kiranya dapat dihubungkan dengan perbedaan dalam lingkungan
mereka. Jika mereka dibesarkan bersama, maka kembar identik sama-sama mengalami,
baik lingkungan yang sama maupun genetis yang sama.
Di pihak lain, kembar yang tidak identik meskipun lahir pada saat yang hampir
bersamaan tetapi secara genetis mereka sama halnya dengan dua orang saudara
kandung. Jika kembar tidak identik dibesarkan bersama, mereka akan sama mengalami
lingkungan yang sama tetapi latar belakang genetisnya hanya identik sebesar 50%.
Dalam penelitian terhadap anak kembar secara umum, tingkat kemungkinan terkena
schizophrenia di antara anak kembar identik adalah sekitar dua atau empat kali lebih
tinggi daripada antara anak kembar yang tidak identik. Hal ini menunjukkan kuatnya
2002 digitized by USU digital library 10
pengaruh faktor genetis. Akan tetapi, dalam suatu penelitian terhadap kembar identik
lainnya ternyata menunjukkan bahwa tidak satupunh dari anak yang kembarannya
terkena schizophrenia yang juga menderita schizophrenia. Dengan demikian, usaha
untuk membedakan pengaruh genetis dan pengaruh lingkungan masih kabur.
Hasil penelitian terhadap anak kembar belum dapat membedakan pengaruh
genetis dan pengaruh lingkungan karena anak kembar biasanya dibesarkan bersama.
Oleh karena itu, apabila anak yang orang tuanya menderita schizophrenia juga
menderita schizophrenia maka ada tiga kemungkinan jawaban : ibu atau ayah yang
menderita schizophrenia mungkin menularkannya secara genetis, atau anak hidup
dalam lingkungan tertentu yang diciptakan oleh orang tua, atau anak itu menderita
schizophrenia akibat dari faktor genetik dan lingkungan yang menekan.
Untuk membedakan akibat gen dan akibat lingkungan tersebut, diusahakan
bebagai penelitian terhadap sekelompok anak yang lahir dari ibu yang menderita
schizophrenia tetapi dipisahkan dari ibunya setelah dilahirkan sehingga tidak ada kontak
dengan ibunya (Sue, et al., 1986; Rathus, et al., 1991; dan Davison, et al., 1994).
Anak-anak tersebut kemudian diadopsi oleh keluarga lain. Ke;lompok lainnya terdiri dari
anak-anak yang lahir dari ibu yang normal dan juga diadopsi oleh keluarga lain. Dari
kelompok anak-anak yang lahir dari ibu yang terkena schizophreni, ternyata 5 orang
menderita schizophrenia dan beberapa lainnya menderita psikosis lainnya, sedangkan
kelompok anak-anak yang lahir dari ibu yang normal, tidak seorangpun yang terkena
schizophrenia. Hal ini mendukung pendapat bahwa schizophrenia lebih besar
kemungkinannya ditularkan secara genetis. Hasil ini juga didukung oleh beberapa
penelitian lain (Rathus, et al., 1991), yaitu bahwa anak-anak dari orang tua
schizophrenia mempunyai kemungkinan terkena schizophrenia dua kali lipat
dibandingkan dengan anak-anak dari orang tua yang normal, entah mereka dibesarkan
oleh orang tua angkat yang menderita schizophrenia maupun tidak. Singkatnya
hubungan biologis atau genetis dengan penderita schizophrenia nampaknya merupakan
faktor yang paling menyolok untuk menimbulkan schizophrenia.
Beberapa penelitian tersebut menunjukkan pengaruh faktor genetis dalam
menularkan schizophrenia, namun tetap menjadi pertanyaan : bagaiman penularan
genetis terjadi. Beberapa peneliti mencoba hal itu dengan berbagai model (Rathus, et
al., 1991), antara lain :
a. Distinct Heterogenity Model.
Model ini menyatakan bahwa schizophrenia terdiri dari sejumlah psikosis,
beberapa diantaranya disebabkan oleh kerusakan gen yang dapat diikuti oleh gen-gen
tertentu dan yang hanya disebabkan oleh faktor lingkungan. Schizophrenia catatonic,
misalnya, mungkin merupakan penyakit yang muncul secara genetis yang akhirnya
diikuti ketidaknormalan gen pada kromosom tertntu.
b. Monogenic Model.
Model ini menyatakan bahwa semua bentuk schizophrenia dapat disebabkan oleh
suatu gen yang cacat. Gen yang cacat ini akan menyebabkan schizophrenia pada orang
yang menerima gen itu dari kedua orang tuanya (monozygote), namun
kemungkinannya kecil bila hanya dari satu orang tua (heterozygote).
c. Multifactorial-Polygenic Model.
Model ini menekankan pengaruh nilai ambang. Menurut model ini, schizophrenia
disebabkan oleh pengaruh berbagai gen, trauma biologis prenatal dan postnatal dan
tekanan psikososial yang saling berinteraksi. Aspek schizophrenia muncul bila
faktor-faktor itu berinteraksi melebihi batas ambang tertentu.
Model-model lainnya mengkombinasikan ciri-ciri dari ketiga model tersebut.
Schizophrenia, misalnya, muncul sebagai akibat dari interaksi gen tunggal dan
2002 digitized by USU digital library 11
tekanan lingkungan. Model Multifactorial-Polygenic nampaknya lebih banyak diterima.
V.1.2 Faktor BioKimia
Kraeplin (Sue, et al., 1986) telah mengidentifikasikan schizophrenia sebagai
akibat dari adanya ketidakseimbangan kimiawi karena tidak normalnya kelenjar
kelamin. Sementara Carl Jung (Davison, et al., 1994) menyebutkan adanya unsur kimia
yang tidak diketahui, yang disebutnya "toxin x". Adanya indikasi pengaruh faktor
genetis setidaknya menunjukkan adanya pengaruh faktor biokimia karena faktor genetis
terjadi melalui proses biologis dan kimiawi tubuh. Para peneliti lain menemukan adanya
substansi kimia yang tidak normal yang disebut taraxein dalam serum darah (Sue, et
al., 1986).
Riset terakhir difokuskan pada dopamine, suatu neurotransmitter yang aktif di
wilayah otak yang terlihat dalam regulasi emosi atau sistem limbik (Atkinson, et al.,
1992). Hipotesis dopamine menyatakan bahwa schizophrenia disebabkan oleh terlalu
banyaknya penerimaan dopamine dalam otak. Kelebihan ini mungkin karena produksi
neurotransmitter atau gangguan regulasi mekanisme pengambilan kembali yang
dengannya dopamine kembali dan disimpan oleh vestikel neuron parasimpatik.
Kemungkinan lain adalah adanya oversensitif reseptor dopamine atau terlalu banyaknya
respon dopamine (sue, et al., 1986; Atkinson, et al., 1992; Rathus, 1991).
Penelitian terhadap pengaruh dopamine dilakukan dengan menggunakan 3
macam obat bius, yaitu phenothiazine, L-Dopa, dan amphetamine. Phenothiazine
merupakan obat anti psikosis yang dapat mengurangi tingkat kekacauan pikiran,
halusinasi, dan memperbaiki suasanan hati penderita schizophrenia. Terdapat bukti kuat
bahwa phenophiazine mengurangi aktifitas dopamine dalam otak dengan menghambat
penerimaan dalam saraf parasimpatik.
L-Dopa biasa digunakan untuk pengobatan gejala-gejala penyakit parkinson.
Tubuh akan mengubah L-Dopa ini menjadi dopamine dan kadang-kadang menyebabkan
gejala-gejala seperti schizophrenia (Sue, et al. 1986). Sementara amphetamine
merupakan obat perangsang yang meningkatkan kemampuan dopamine dalam otak.
Pemberian amphetamine dalam dosis yang berlebihan ternyata menunjukkan
gejala-gejala seperti schizophrenia. Jika penderita schizophrenia diberi
amphetamine, meski dalam dosis rendah, ternyata gejala-gejala schizophrenianya
semakin memburuk.
Dengan demikian, obat yang dapat menghambat penerimaan dopamine (seperti
phenothiazine) dapat mengurangi gejala-gejala schizophrenia, sementara obat lain yang
meningkatkan kemampuan dopamine (seperti amphetamine dan L-Dopa) dapat
menyebabkan atau memperburuk gejala-gejala schizophrenia. Hal ini memperlihatkan
bahwa kelebihan dopamine dapat menyebabkan gejala-gejala schizophrenia. Akan tetapi
penemuan ini belum seluruhnya tepat. Pemberian phenothiazine terhadap penderita
schizophrenia memperlihatkan bahwa seperempat dari mereka memberi respon yang
sangat kecil atau tidak sama sekali, bahkan seperempatnya memberikan respon negatif.
Sementara, sepertiga penderita yang diberi amphetamine tidak mengalami gejala yang
makin memburuk. Hal ini memperlihatkan bahwa seharusnya ada penyebab lain selain
dari kelebihan dopamine (Sue, et al., 1986).
Perlu disadari bahwa schizophrenia merupakan sekelompok psikosis dengan efek
yang bermacam-macam. Teori dopamine perlu dicermati secara hati-hati karena
mungkin terlalu sederhana dalam mencari penjelasan dengan memusatkan persoalan
hanya pada aktifitas dopamine semata tanpa memperhitungkan interaksi fungsi otak
dengan sistem biokimia secara menyeluruh. Penyumbatan dopamine mungkin
2002 digitized by USU digital library 12
mempengaruhi gejala-gejala schizophrenia, tetapi tidak menjadi penyebab munculnya
penyakit tersebut. Perubahan aktifitas dopamine mungkin terjadi setelah munculnya
psikosis dan bukan sebelumnya (Sue, et al., 1986 dan Davison, et al., 1994).
V.1.3 Otak
Sekitar 20-35% penderita schizophrenia mengalami beberapa bentuk kerusakan
otak (Sue, et al., 1986). Penelitian dengan CAT (Computer Axial Tomography) dan MRI
(Magnetic Resonance Imagins) memperlihatkan bahwa sebagian penderita schizophrenia
memiliki ventrikel serebral (yaitu ruangan yang berisi cairan serebrospinal) yang jauh
lebih besar dibanding dengan orang normal. Itu berarti jika ventriker lebih besar dari
normal, jaringan otak pasti lebih kecil dari normal. Pembesaran ventrikel berarti
terdapat proses memburuknya atau berhentinya pertumbuhan jaringan otak. Bebebrapa
penelitian memperlihatkan bahwa lobus frontalis, lobus temporalis, dan hipokampus
yang lebih kecil pada penderita schizophrenia (Atkinson, et al., 1992). Penelitian dengan
PET (Positron Emission Topography, yaitu pengamatan terhadap metabolisme glukosa
pada saat seseorang sedang mengerjakan tes psikologi, pada penderita schizophrenia
memperlihatkan tingkat metabolisme yang rendah pada lobus frontalis.
Kelainan syaraf ini dapat pula dijelaskan sebagai akibat dari infeksi yang
disebabkan oleh virus yang masuk otak. Infeksi ini dapat terjadi selama perkembangan
janin. Akan tetapi, jika kerusakan otak terjadi pada masa awal perkembangan
seseorang, pertanyaan yang muncul adalah mengapa psikosis ini baru muncul pada
masa dewasa. Weinberger (dalam Davison, et al., 1994) mengatakan bahwa luka pada
otak saling mempengaruhi dengan proses perkembangan otak yang normal. Lobus
frontalis merupakan struktur otak yang terlambat matang, khususnya pada usia dewasa.
Dengan demikian, luka pada daerah tersebut belum berpengaruh pada masa awal
sampai lobus frontalis mulai berperan dalam perilaku.
V.2 PENDEKATAN PSIKOANALISA
Menurut Freud kepribadian terdiri atas 3 (tiga( sistem atau aspek, yaitu : id, ego
dan super ego (Suryabrata, 1988 : 125).
Id merupakan unsur landasan dasar, dan paling penting dari ketiganya, karena
merupakan sumber dari energi psikis, yang berasal dari insting-insting biologis manusia.
Insting-insting yang paling penting adalah insting seksual dan insting agresi. Kedua
insting tersebut yang banyak membimbing perilaku manusia.
Ego merupakan proses kepribadian yang logis dan mempunyai kegunaan yang
mempermudah transaksi/perbuatan manusia menguasai alam lingkungannya. Ego
mencakup kemampuan merencanakan, memecahkan masalah, dan menciptakan
bermacam-macam teknik untuk menguasai dunia sekitarnya. Selain itu, ego juga harus
mampu mengendalikan impuls-impuls manusai, karena ekspresi hiperaktif dari
impuls-impuls seks dan dorongan-dorongan agresi bisam mencelakakan manusia
dan sekelilingnya. Dengan demikian, ego berfungsi mengintegrasikan impuls-impuls
seks dan agresinya dengan dunia luarnya.
Superego merupakan konsep yang melambangkan internalisasi dari nilai-nilai
orang tua oleh diri anak, yaitu berupa nilai-nilai yang ditanamkan dengan sangsi
hukuman jika dilanggar dan mendapatkan hadiah jika dipatuhinya.
Pertimbangan antara id dan superego seringkali tidak seimbang dan
menimbulkan konflik. Apabila ego berfungsi dengan baik, maka situasi konflik tersebut
akan dapat dikendalikan dan diselesaikannya secara adekuat. Sementara jika ego
lemah, maka situasi konflik tersebut tidak akan dapat diselesaikannya, dan akan timbul
banyak konflik internal atau bahkan konfli yang sifatnya sangat hebat, yang
2002 digitized by USU digital library 13
diekspresikannya dalam bentuk tingkah laku yang abnormal. Jika superego-nya
dominan dan bersifat sangat moralistis, biasanya individu justru akan kurang mampu
menanggapi insting seksual dan agresinya, sehingga individu akan mengembangkan
pola rasa bersalah, penuh dosa, dan penyesalan yang kronis sifatnya, serta dibarengi
dengan simptom kelelahan dan kebingungan.
Perkembangan kepribadian individu menurut Freud (dalam Kartono, 1989 : 21)
akan sangat ditentukan oleh perkembangan psikoseksual dimasa kanak-kanaknya.
Apabila anak terus-menerus mengalami frustasi, mendapatkan perlakuan kejam, dan
tidak mendapatkan cinta kasih, atau sebaliknya terlalu dimanjakan secara
berlebih-lebihan, ia akan mengalami keberhentian dan kerugian dalam
perkembangan kepribadiannya, yang disebut dengan proses fiksasi. Anak akan
mengembangkan bermacam-macam sikap yang immature atau tidak matang dan
tingkah laku yang abnormal. Pola kepribadian yang demikian tidak jarang terus
berlarut-larut dan dapat menjadi predisposisi terjadinya gangguan abnormalitas perilaku
dimasa berikutnya.
Pada schizophrenia, pola kepribadian immature yang berkaitan dengan impuls
seksual dan agresi merupakan predisposisi untuk menimbulkan gangguan tersebut.
Berkembangnya gangguan schizophrenia lebih lanjut biasanya diawali oleh apa yang
disebut sebagai precipitating event atau peristiwa pencetus.
Dalam menghadapi peristiwa pencetus tersebut, melalui pola kepribadian yang
immature, individu mengembangkan defence mechanism yang berlebihan, dimana
individu akan mengembangkan pola penyelesaian masalah yang tidak berhubungan
dengan realita yang ada, yang sampai akhirnya antar aspek-aspek kepribadian terjadi
disintegrasi atau terpecah. Kondisi tersebut, menyebabkan putusnya hubungan antara
individu dengan dunia nyata. Dalam hal ini terjadi beberapa defence mechanism yang
saling berbenturan secara bersamaan. Misalnya, pada mulanya individu menggunakan
mekanisme pertahanan rasionalisasi. Kemudian, rasionalisasi tersebut direpressnya.
Kemudian, individu mengungkapkan hal yang berlawanan dengan perasaan yang
direpressnya melalui reaksi formasi. Oleh karena itu, simptom delusi dan halusinasi
yang dikembangkan oleh schizophrenia merupakan defence terhadap defence yang
lain (defence againts a defence).
V.3 PENDEKATAN TEORI BELAJAR
Para ahli teori belajar, seperti Ullmann dan Krasner (dalam Davison et al., 1994),
menerangkan tingkah laku schizophrenia sebagai hasil proses belajar lewat
pengkondisian dan pengamatan. Seseorang belajar untuk "menampakkan" tingkah
laku schizophrenia bila tingkah laku demikian lebih memungkinkan untuk diperkuat
daripada tingkah laku yang normal. Teori ini menekankan nilai penguatan stimulasi
sosial. Schizophrenia mungkin muncul oleh karena lingkungan tidak memberi penguatan
akibat pola keluarga yang terganggu atau pengaruh lingkungan lainnya sehingga
seseorang tidak pernah belajar merespon stimulus sosial secara normal. Bersamaan
dengan itu, mereka akan semakin menyesuaikan diri dengan stimulus pribadi atau
idiosinkratis. Selanjutnya, orang-orang akan melihat bahwa mereka sebagai orang aneh
sehingga mengalami penolakan sosial dan pengasingan yang akan semakin memperkuat
tingkah laku yang aneh. Perilaku aneh ini akan semakin bertahan karena tidak ada
penguatan dari orang lain berupa perhatian dan simpati.
Pandangan tersebut didukung oleh pengamatan dengan pengkondisian operan.
Beberapa penelitian memperlihatkan bahwa perilaku yang aneh dapat dibentuk melalui
proses penguatan. Akan tetapi fakta ini belum dapat memperlihatkan ap-akah
tingkatan perilaku yang aneh pada schizophrenia dapat dijelaskan melalui penmgalaman
belajar. Selain itu, fakta lain menunjukkan bahwa beberapa orang yang hidup dalam
lingkungan yang keras dan tertekan tetapi tidak menarik diri ke dalam dunia
2002 digitized by USU digital library 14
khayalannya dan tidak bertingkah aneh. Beberapa penderita schizophrenia bahkan
tumbuh dalam lingkungan keluarga yang mendapat dukungan sosial.
Teori belajar sosial menerangkan bahwa gejala-gejala schizophrenia terjadi
dalam lingkungan rumah sakit jiwa. Dalam lingkungan tersebut, penderita belajar
dengan mengamati perilaku pasien lain dan mengikutinya. Hal ini diperkuat lagi oleh
petugas yang memberi perhatian khusus pada penderita yang berperilaku aneh.
Pandangan ini sesuai dengan pengalaman di sekolah dimana guru memberi perhatian
khusus justru pada anak yang nakal. Barangkali beberapa perilaku schizophrenia dapat
diterangkan dengan peniruan dan penguatan, akan tetapi banyak orang menderita
schizophrenia tanpa lebih dahulu bertemu dengan penderita lainnya. Selain itu,
kenyataannya justru gejal-gejala schizophrenialah yang menyebabkan seseorang
dimasukkan ke rumah sakit jiwa, dan bukannya akibat yang diperoleh di dalam rumah
sakit jiwa.
VI. TERAPI PADA SCHIZOPHRENIA
VI.1. TERAPI BIOLOGIS
V.1.1 Penggunaan Obat Antipsikosis
Obat-obatan antipsikosis yang dapat meredakan gejala-gejala schizophrenia
adalah chlorpromazine (thorazine) dan fluphenazine decanoate (prolixin). Kedua obat
tersebut termasuk kelompok obat phenothiazines, reserpine (serpasil), dan haloperidol
(haldol). Obat ini disebut obet penenang utama. Obat tersebut dapat menimbulkan rasa
kantuk dan kelesuan, tetapi tidak mengakibatkan tidur yang lelap, sekalipun dalam
dosis yang sangat tinggi (orang tersebut dapat dengan mudah terbangun). Obat ini
tampaknya mengakibatkan sikap acuh pada stimulus. luar. Obat ini cukup tepat bagi
penderita schizophrenia yang tampaknya tidak dapat menyaring stimulus yang tidak
relevan).
Bukti menunjukkan bahwa obat antipsikotik ini bekerja pada bagian batang otak,
yaitu sistem retikulernya, yang selalu mengendalikan masukan berita dari alat indera
pada cortex cerebral. Obat-obatan ini tampaknyamengurangi masukan sensorik pada
sistem retikuler, sehingga informasi tidak mencapai cortex cerebral.
Obat antipsikotik telah terbukti efektif untuk meredakan gejala schizophrenia,
memperpendek jangka waktu pasien di rumah sakit, dan mencegah kambuhnya
penyakit. Namun, obat-obatan tersebut bukan untuk penyembuhan menyeluruh.
Kebanyakan pasien harus melanjutkannya dengan perbaikan dosis pengobatan agar
dapat berfungsi di luar rumah sakit.
Di samping itu, efek penggunaan obat-obatan antipsikotik tersebut memiliki
dampak sampingan yang kurang menyenangkan, yaitu mulut kering, pendangan
mengabur, sulit berkonsentrasi, sehingga banyak orang menghentikan pengobatan
mereka. Selain itu juga terdapat dampak sampingan yang lebih serius dalam beberapa
hal, misalnya tekanan darah rendah dan gangguan otot yang menyebabkann gerakan
mulut dan dagu yang tidak disengaja (Atkinson, et al., 1991).
Selain itu, dalam 2-3 tahun terakhir ini, obat-obat psikotropik anti schizophrenic
bermunculan dan mulai digunakan di Indonesia. Obat-obat ini seperti clozapine,
risperidone, olanzepine, iloperidol, diyakini mampu memberikan kualitas
kesembuhan yang lebih baik, terutama bagi yang sudah resistendengan obat-obat lama.
Obat-obat generasi kedua ini bisa menetralisir gejala-gejala akut schizophrenia
seperti tingkah laku kacau, gaduh gelisah, waham, halusinasi pendengaran, inkoherensi,
maupun menghilangkan gejala-gejala negatif (kronik) seperti autistik (pikiran penuh
fantasi dan tak terarah0, perasaan tumpul, dan gangguan dorongan kehendak. Namun,
obat-obat anti schizophrenia ini memiliki harga yang cukup tinggi. Sementara,
2002 digitized by USU digital library 15
penderita schizophrenia di Indonesia kebanyakan berasal dari golongan sosial ekonomi
rendah dan biasanya menggunakan obat-obatan klasik (generik) (Wicaksana, 2000).
VI.1.2 Terapi Elektrokonvulsif
Terapi Elektrokonvulsif disingkat ECT juga dikenal sebagai terapi elektroshock.
ECT telah menjadi pokok perdebatan dan keprihatinan masyarakat karena beberapa
alasan. Di masa lalu ECT ini digunakan di berbagai rumah sakit jiwa pada berbagai
gangguan jiwa, termasuk schizophrenia. Namun terapi ini tidak membuahkan hasil yang
bermanfaat. Sebelum prosedur ECT yang lebih manusiawi dikembangkan, ECT
merupakan pengalaman yang sangat menakutkan pasien. Pasien seringkali tidak
bangun lagi setelah aliran listrik dialirkan ke tubuhnya dan mengakibatkan
ketidaksadaran sementara, serta seringkali menderita kerancuan pikiran dan hilangnya
ingatan setelah itu. Adakalanya, intensitas kekejangan otot yang menyertai serangan
otak mengakibatkan berbagai cacat fisik.
Namun, sekarang ECT sudah tidak begitu menyakitkan. Pasien diberi obat bius
ringan dan kemudian disuntik dengan penenang otot. Aliran listrik yang sangat
lemahdialirkan ke otak melalui kedua pelipisatau pada pelipis yang mengandung
belahan otak yang tidak dominan. Hanya aliran ringan yang dibutuhkan untuk
menghasilkan serangan otak yang diberikan, karena serangan itu sendiri yang bersifat
terapis, bukan aliran listriknya. Penenang otot mencegah terjadinya kekejangan otot
tubuh dan kemungkinan luka. Pasien bangun beberapa menit dan tidak ingat apa-apa
tentang pengobatan yang dilakukan. Kerancuan pikiran dan hilang ingatan tidak terjadi,
terutama bila aliran listrik hanya diberikan kepada belahan otak yang tidak dominan
(nondominan hemisphere). Empat sampai enam kali pengobatan semacam ini biasanya
dilakukan dalam jangka waktu 2 minggu.
Akan tetapi, ECT ini tidak cukup berhasil untuk penyembuhan schizophrenia,
namun lebih efektif untuk penyembuhan penderita depresi tertentu (Atkinson, et al.,
1991).
VI.1.3 Pembedahan bagian otak
Pada tahun 1935, Moniz (Davison, et al., 1994) memperkenalkan prefrontal
lobotomy, yaitu preoses pembedahan pada lobus frontalis penderita schizophrenia.
Menurut Moniz, cara ini cukup berhasil dalam proses penyembuhan yang
dilakukannya, khususnya pada penderita yang berperilaku kasar. Akan tetapi, pada
tahin 1950 -an cara ini ditinggalkan karena menyebabkan penderita kehilangan
kemampuan kognitifnya, otak tumpul, tidak bergairah, bahkan meninggal.
VI.2 PSIKOTERAPI
Gejala-gejala gangguan schizophrenia yang kronik telah membuat situasi
pengobatan di dalam maupun di luar Rumah Sakit Jiwa (RSJ) menjadi monoton dan
menjemukan. Para psikiater dan petugas kesehatan terkondisi untuk menangani
schizophrenia dengan obat saja selain terapi kejang listrik (ECT). Psikoterapi suportif,
terapi kelompok, maupun terapi perilaku hampir tidak pernah dilakukan, karena
dianggap tidak akan banyak manfaatnya. Wawancara tatap muka yang rutin dengan
pasien jarang dilakukan (Wicaksana, 2000).
Psikoterapi adalah perawatan dan penyembuhan gangguan jiwa dengan cara
psikologis. beberapa pakar psikoterapi beranggapan bahwa perubahan perilaku
tergantung pada pemahaman individu atas motif dan konflik yang tidak disadari.
VI.2.1 Terapi Psikoanalisa.
Terapi Psikoanalisa adalah metode terapi berdasarkan konsep Freud. Tujuan
psikoanalisis adalah menyadarkan individu akan konflik yang tidak disadarinya dan
mekanisme pertahanan yang digunakannya untuk mengendalikan kecemasannya . Hal
yang paling penting pada terapi ini adalah untuk mengatasi hal-hal yang direpress oleh
penderita.
2002 digitized by USU digital library 16
Metode terapi ini dilakukan pada saat penderita schizophrenia sedang tidak
"kambuh".
Macam terapi psikoanalisa yang dapat dilakukan, adalah Asosiasi Bebas. Pada
teknik terapi ini, penderita didorong untuk membebaskan pikiran dan perasaan dan
mengucapkan apa saja yang ada dalam pikirannya tanpa penyuntingan atau
penyensoran (Akinson, 1991).
Pada teknik ini, penderita disupport untuk bisa berada dalam kondisi relaks baik
fisik maupun mental dengan cara tidur di sofa. Ketika penderita dinyatakan sudah
berada dalam keadaan relaks, maka pasien harus mengungkapkan hal yang dipikirkan
pada saat itu secara verbal.
Pada saat penderita tidur di sofa dan disuruh menyebutkan segala macam pikiran
dan perasaan yang ada di benaknya dan penderita mengalami blocking, maka hal itu
merupakan manifestasi dari keadaan over-repressi. Hal yang direpress biasanya berupa
dorongan vital seperti sexual dan agresi. Repressi terhadap dorongan agresi
menyangkut figur otorotas yang selalu diwakili oleh father dan mother figure. Repressi
anger dan hostile merupakan salah satu bentuk intrapsikis yang biasa menyebabkan
blocking pada individu. Akibat dari blocking tersebut, maka integrasi kepribadian
menjadi tidak baik, karena ada tekanan ego yang sangat besar.
Menurut Freud, apabila terjadi blocking dalam proses asosiasi bebas, maka
penderita akan melakukan analisa. Hasil dari analisanya dapat menimbulkan insight
pada penderita. Analisa pada waktu terjadi blocking bertujuan agar penderita mampu
menempatkan konfliknya lebih proporsional, sehingga penderita mengalami suatu
proses penurunan ketegangan dan penderita lebih toleran terhadap konflik yang
dialaminya.
Seperti yang telah diungkapkan terdahulu bahwa penderita diberi kesempatan
untuk dapat mengungkapkan segala traumatic events dan keinginan-keinginan yang
direpressnya. Waktu ini disebut dengan moment chatarsis. Disini penderita diberi
kesempatan untuk mengeluarkan uneg-uneg yang ia rasakan , sehingga terjadi redusir
terhadap pelibatan emosi dalam menyelesaikan masalah yang dialaminya.
Dalam teknik asosiasi bebas ini, juga terdapat proses transference, yaitu suatu
keadaan dimana pasien menempatkan therapist sebagai figur substitusi dari figur yang
sebenarnya menimbulkan masalah bagi penderita. Terdapat 2 macam transference,
yaitu (1) transference positif, yaitu apabila therapist menggantikan figur yang disukai
oleh penderita, (2) transference negatif, yaitu therapist menggantikan figur yang dibenci
oleh penderita (Fakultas Psikologi UNPAD, 1992).
VI.2.2 Terapi Perilaku (Behavioristik)
Pada dasarnya, terapi perilaku menekankan prinsip pengkondisian klasik dan
operan, karena terapi ini berkaitan dengan perilaku nyata. Para terpist mencoba
menentukan stimulus yang mengawali respon malasuai dan kondisi lingkungan yang
menguatkan atau mempertahankan perilaku itu (Ullaman dan Krasner, 1969; Lazarus,
1971 dalam Atkinson, 1991).
Akhir-akhir ini, pakar terapi perilaku melihat adanya pengaruh variabel kognitif
pada perilaku (misalnya, pemikiran individu tentang situasi menimbulkan kecemasan
tentang akibat dari tindakan tertentu) dan telah mencakupkan upaya untuk mengubah
variabel semacam itu dengan prosedur yang khusus ditujukan pada perilaku tersebut
(Bandura, 1982; Meinchenbaum dan Jaremko, 1982 dalam Atkinson, 1991).
Pada kongres psikiatri di Malaysia beberapa bulan lalu tahun 2000 ini, cognitif -
behavior therapy untuk pasien schizophrenia ditampilkan pakar psikiatri dari Amerika
2002 digitized by USU digital library 17
maupun dari Malaysia sendiri. Ternyata, terdapat hasil yang cukup baik, terutama untuk
kasus-kasus baru, dengan menggunakan cognitif - behavior therapy tersebut. Rupanya
ada gelombang besar optimisme akan kesembuhan schizophrenia di dunia dengan terapi
yang lebih komprehensif ini.
Selain itu, secara umum terapi ini juga bermaksud secara langsung membentuk
dan mengembangkan perilaku penderita schizophrenia yang lebih sesuai, sebagai
persiapan penderita untuk kembali berperan dalam masyarakat. Paul dan Lentz (Rathus,
et al., 1991; Davison, et al., 1994) menggunakan dua bentuk program psikososial untuk
meningkatkan fungsi kemandirian.
a. Social Learning Program.
Social learning program menolong penderita schizophrenia untuk mempelajari
perilaku-perilaku yang sesuai. Program ini menggunakan token economy, yakni suatu
cara untuk menguatkan perilaku dengan memberikan tanda tertentu (token) bila
penderita berhasil melakukan suatu perilaku tertentu. Tanda tersebut dapat ditukar
dengan hadiah (reward), seperti makanan atau hak-hak tertentu
Program lainnya adalah millieu program atau therapeutic community. Dalam
program ini, penderita dibagi dalam kelompok-kelompok kecil yang mempunyai
tanggung jawab untuk tugas-tugas tertentu. Mereka dianjurkan meluangkan waktu
untuk bersama-sama dan saling membantu dalam penyesuaian perilaku serta
membicarakan masalah-masalah bersama dengan pendamping. Terapi ini berusaha
memasukkan penderita schizophrenia dalam proses perkembangan untuk
mempersiapkan mereka dalam peran sosial yang bertanggung jawab dengan melibatkan
seluruh penderitan dan staf pembimbing.
Dalam penelitian, social learning program mempunyai hasil yang lebih baik
dibandingkan dengan perawatan dalam rumah sakit jiwa dan millieu program. Persoalan
yang muncul dalam terapi ini adalah identifikasi tentang unsur-unsur mana yang efektif.
Tidak jelas apakah penguatan dengan tanda (token) ataukan faktor-faktor lain yang
menyebabkan perubahan perilaku; dan apakah program penguatan dengan tanda
tersebut membantu perubahan perilaku hanya selama tanda diberikan atau hanya
dalam lingkungan perawatan.
b. Social Skills Training.
Terapi ini melatih penderita mengenai ketrampilan atau keahlian sosial, seperti
kemampuan percakapan, yang dapat membantu dalam beradaptasi dengan masyarakat
(Rathus, et al., 1991; Davisoan, et al., 1994; Sue, et al., 1986). Social Skills Training
menggunakan latihan bermainsandiwara. Para penderita diberi tugas untuk bermain
peran dalam situasi-situasi tertentu agar mereka dapat menerapkannya dalam situasi
yang sebenarnya. Bentuk terapi seperti ini sering digunakan dalam panti-panti
rehabilitasin psikososial untuk membantu penderita agar bisa kembali berperan dalam
masyarakat. Mereka dibantu dan didukung untuk melaksanakan tugas-tugas harian
seperti memasak, berbelanja, ataupun utnuk berkomunikasi, bersahabat, dan
sebagainya.
Meskipun terapi ini cukup berhasil, namun tetap ada persoalan bagaimana
mempertahankan perilaku bila suatu program telah selesai, dan bagaimana dengan
situasi-situasi yang tidak diajarkan secara langsung.
VI.2.3 Terapi Humanistik
a. Terapi Kelompok.
Banyak masalah emosional menyangkut kesulitan seseorang dalam berhubungan
dengan orang lain, yang dapat menyebabkan seseorang berusaha menghindari relasinya
dengan orang lain, mengisolasi diri, sehingga menyebabkan pola penyelesaian masalah
2002 digitized by USU digital library 18
yang dilakukannya tidak tepat dan tidak sesuai dengan dunia empiris. Dalam menagani
kasus tersebut, terapi kelompok akan sangat bermanfaat bagi proses penyembuhan
klien, khususnya klien schizophrenia.
Terapi kelompok ini termasuk salah satu jenis terapi humanistik. Pada terapi ini,
beberapa klien berkumpul dan saling berkomunikasi dan terapist berperan sebagai
fasilitator dan sebagai pemberi arah di dalamnya. Di antara peserta terapi tersebut
saling memberikan feedback tentang pikiran dan perasaan yang dialami oleh mereka.
Klien dihadapkan pada setting sosial yang mengajaknya untuk berkomunikasi,
sehingga terapi ini dapat memperkaya pengalaman mereka dalam kemampuan
berkomunikasi. Di rumah sakit jiwa, terapi ini sering dilakukan.
Melalui terapi kelompok ini iklim interpersonal relationship yang konkrit akan
tercipta, sehingga klien selalu diajak untuk berpikir secara realistis dan menilai pikiran
dan perasaannya yang tidak realistis.
b. Terapi Keluarga.
Terapi keluarga ini merupakan suatu bentuk khusus dari terapi kelompok.
Kelompoknya terdiri atas suami istri atau orang tua serta anaknya yang bertemu dengan
satu atau dua terapist.
Terapi ini digunakan untuk penderita yang telah keluar dari rumah sakit jiwa dan
tinggal bersama keluarganya. Ungkapan-ungkapan emosi dalam keluarga yang bisa
mengakibatkan penyakit penderita kambuh kembali diusahakan kembali. Keluarga
diberi informasi tentang cara-cara untuk mengekspresikan perasaan-perasaan, baik
yang positif maupun yang negatif secara konstruktif dan jelas, dan untuk memecahkan
setiap persoalan secara bersama-sama. Keluarga diberi pengetahuan tentang keadaan
penderita dan cara-cara untuk menghadapinya. Keluarga juga diberi penjelasan tentang
cara untuk mendampingi, mengajari, dan melatih penderita dengan sikap penuh
penghargaan. Perlakuan-perlakuan dan pengungkapan emosi anggota keluarga diatu
dan disusun sedemikian rupa serta dievaluasi.
Dari beberapa penelitian, seperti yang dilakukan oleh Fallon (Davison, et al.,
1994; Rathus, et al., 1991) ternyata campur tangan keluarga sangan membantu dalam
proses penyembuhan, atau sekurang-kurangnya mencegah kambuhnya penyakit
penderita, dibandingkan dengan terapi-terapi secara individual.
VII. PENUTUP
Schizophrenia merupakan gangguan mental klasifikasi berat dan kronik (psikotik).
Secara umum ditandai oleh distorsi pikiran, persepsi yang khas, dan gangguan afek
yang tidak wajar.
Schizophrenia disebabkan oleh hal yang multikompleks, seperti
ketidakseimbangan neurotransmitter di otak, faktor edukasi dan perkembangan mental
sejak masa anak-anak, stressor psikososial berat yang menumpuk, dengan sifat
perjalanan penyakit yang progresif, cenderung menahun, (kronik), eksaserbasi
(kumat-kumatan), sehingga terkesan penderita tidak bisa disembuhkan seumur hidup.
Gejala-gejala gangguan schizophrenia yang kronik dan itu-itu saja telah
membuat situasi pengobatan di dalam maupun di luar Rumah Sakit Jiwa (RSJ) menjadi
2002 digitized by USU digital library 19
monoton dan menjemukan. Para spikiater dan petugas kesehatan terkondisi untuk
menangani schizophrenia dengan obat saja selain terapi kejang listrik (ECT). Dan dalam
perkembangan obat-obatan, pada 2-3 tahun terakhir ini obat-obatan psikotropik anti
schizophrenia bermunculan dan mulai digunakan di Indonesia. Obat-obatan ini diyakini
mampu memberikan kualitas kesembuhan yang lebih baik, terutama bagi yang sudah
resisten dengan obat-obat lama. Namun obat-obatan tersebut memiliki harga yang
cukup tinggi. Hal tersebut menjadi masalah dan kendala yang sangat besar bagi
kesembuhan para penderita schizophrenia yang umumnya berasal dari golongan sosial
ekonomi rendah.
Beberapa hal yang mengejutkan adalah bahwa dalam beberapa kongres dan
seminar psikiatri dalam skala internasional telah menunjukkan keunggulan dari
kegunaan psikoterapi terhadap kasus-kasus psikiatri. Rupanya ada gelombang besar
optimisme akan kesembuhan schizophrenia di dunia dengan terapi yang lebih
komprehensif. Mungkin dibutuhkan reformasi pula dalam pengobatan schizophrenia di
Indonesia dengan paradigma yang lebih optimis tentang kesembuhan penderita yang
bisa dicapai dengan penanganan yang lebih komprehensif.
DAFTAR PUSTAKA
Atkinson, R.L., Atkinson R.C., Hillgard E.R. 1991. Pengantar Psikologi, Edisi
Kedelapan, Jilid 2. Jakarta, Penerbit Erlangga.
Coleman, James C. 1976. Abnormal Psychology and Modern Life, 5th edition.
Indian, D.B. Taraporevala Sons & CO. Private LTD.
Davison, G.C., Neale, J.M. 1994. Abnormal Psychology. New York, John Wiley & Son
Inc.
Fakultas Psikologi, Universitas Padjadjaran. 1992. Psikoterapi, Penggunaan
Psikoterapi Pada Kasus-Kasus Klinis. Bandung.
Kartono, Kartini. 1989. Psikologi Abnormal Dan Abnormalitas Seksual. Bandung,
Penerbit Mandar Maju.
Martaniah, Sri Mulyani. 1999. Hand Out Psikologi Abnormal. Yogyakarta.
Maslim, Rusdi. 1995. Buku Saku Diagnosis Gangguang Jiwa. Jakarta.
Rathus, S.A., Nevid, J.J. 1991. Abnormal Psychology. New Jersey, Prentice Hall,
Englewood Cliffs.
2002 digitized by USU digital library 20
Supardi, Sawitri. 1982. Paradigma Psikopatologi (Saduran Dari Buku Paradigms
For Psychopathology, A Contribution To Case History Analysis). Bandung,
Biro Psikologi Psikodinamika.
Lain - lain :
Wicaksana, Inu. 2000. Skizofrenia : Antara Kerja dan Kualitas Hidup, Artikel pada
harian Kompas 15 Oktober 2000, halaman 21.